animasi-bergerak-pesawat-terbang-0006Bandara Dr FL Tobing Small Beautiful Airport ( Selamat Hari Perhubungan Nasional Tahun 2019 )

Thursday 27 March 2014

Sejarah Nama DR Ferdinand Lumban Tobing

Ferdinand Lumban Tobing adalah seorang pejuang kemerdekaan yang berlatar belakang profesi dokter. Ketidaksenangannya terhadap kolonial yang sudah lama tersimpan dalam hati Ferdinand mencapai puncaknya tatkala Ferdinand melihat penderitaan saudara sebangsanya diperlakukan tidak manusiawi di zaman kerja paksa (romusha) yang diberlakukan pemerintah pendudukan Jepang. Saat itu ia protes terhadap pemerintah pendudukan Jepang, protes yang mengakibatkan dirinya menjadi target pembunuhan tentara Jepang.

Dalam sejarah perjuangannya, putra bangsa kelahiran Tapanuli ini lebih banyak tercatat pada zaman pendudukan Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan, yakni perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda merebut kembali Republik Indonesia, peristiwa yang lebih sering dikenal dengan istilah Agresi Militer Belanda.

Ferdinand Lumban Tobing dilahirkan di Sibuluan, Sibolga, Tapanuli Tengah, 
Sumatera Utara, pada 19 Februari 1899. Namun, berhubung keluarganya pindah ke Pulau Jawa, masa remaja pun dilalui Ferdinand di Pulau Jawa. Bahkan, pendidikan dasar pun dijalani dan diselesaikannya di Depok, Bogor, Jawa Barat.

Selepas sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan Sekolah Dokter di Jakarta yang di zaman kolonial Belanda benama STOVIA. Setamat dari STOVIA pada tahun 1924, ia bekerja sebagai dokter bagian penyakit menular di rumah sakit CBZ, sekarang bernama Rumah Sakit Umum 
Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Selama menjalani profesi sebagai dokter, Ferdinand sering dipindah-pindah. Beberapa tahun bekerja di RSCM, ia kemudian dipindahkan ke Tenggarong, Kalimantan Timur. Dari Tenggarong ia kemudian dipindah ke Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, beliau menjalani tugas sampai tahun 1935 sebelum kemudian dipindahkan lagi ke daerah Tapanuli, tanah kelahirannya. Di daerah Tapanuli sendiri beliau pertama-tama ditempatkan di Padang Sidempuan, kemudian dipindahkan ke Sibolga.

Bersamaan saat Ferdinand bertugas di Sibolga, Perang Dunia II sedang berkobar. Di Indonesia sendiri, pasukan pendudukan Belanda mengalami kekalahan dari pasukan Jepang. Sehingga, bangsa Indonesia yang tadinya merupakan koloni Belanda kemudian digantikan oleh Jepang.

Sesuai pengakuan Jepang sebelumnya, sebagai sesama Asia mereka datang menolong bangsa Indonesia mengusir pasukan Belanda yang notabene berkulit putih alias Eropa, maka di awal kemenangan Jepang, rakyat Indonesia juga merasa senang dengan kemenangan tersebut dan berpikir telah terbebas dari penjajahan. Namun kemerdekaan yang diimpikan rupanya hanya sebuah fatamorgana. Ucapan Jepang hanyalah omong kosong.

Jepang ternyata tidak berbeda dengan bangsa Belanda maupun bangsa imperialis lainnya, ingin menguasai bangsa Indonesia. Bahkan, kekejaman tentara Jepang melebihi tentara Belanda. Semua pria dewasa diwajibkan romusha, yakni kerja paksa untuk mengerjakan pembukaan jalan, membuat benteng dan lain-lain tanpa diupah. Hasil pertanian dan ternak rakyat dirampas dengan paksa tanpa ganti rugi. Barang siapa yang tidak menuruti perintah dihukum penjara, kerja paksa, dibuang, bahkan dibunuh atau hukuman mati.

Di era pendudukan Jepang ini, dokter Ferdinand Lumban Tobing bertugas sebagai dokter pengawas kesehatan romusha. Karena itu, ia menyaksikan dengan jelas bagaimana para romusha (pekerja paksa) - yang ketika itu membuat benteng di Teluk Sibolga - diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Jepang. Dengan perasaan sedih beliau seakan dipaksa menonton kesengsaraan yang dialami saudara-saudara sebangsanya sendiri. Hatinya tidak sanggup menerima. Beliau pun melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang. Namun akibatnya, beliau dicurigai dan menjadi salah seorang terpelajar Tapanuli yang menjadi target yang akan dibunuh Jepang.

Sebagai dokter, beliau seorang profesional murni. Hatinya tidak sanggup membiarkan orang yang sedang membutuhkan keahliannya menderita, sekalipun itu orang yang tidak disukainya. Maka tatkala seorang tentara Jepang jatuh dari kendaraan, dokter Ferdinand ini pun menyelamatkan nyawa tentara tersebut dengan mengobatinya semaksimal mungkin hingga sembuh. Melihat pertolongan yang diberikannya, tentara Jepang pun mengurungkan niat mengejar dan membunuh Ferdinand.

Di pentas politik, dokter Ferdinand termasuk seorang yang berhasil. Pada tahun 1943 saat masih di zaman pendudukan Jepang, beliau sudah diangkat menjadi Ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli, di samping sebagai anggota Cuo Sangi In.

Pada tahun 1945, sejarah dunia tercatat, Perang Dunia kedua berakhir. Jepang menyerah kepada pasukan sekutu. Dengan demikian, pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia pun dipaksa meninggalkan tanah Indonesia. Kesempatan emas tersebut tidak disia-siakan para pemimpin bangsa Indonesia, kemerdekaan Indonesia pun diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Di awal kemerdekaan ini, Ferdinand Lumban Tobing diangkat jadi Residen Tapanuli, sejak bulan Oktober 1945.

Namun sebagaimana tercatat dalam sejarah, Pemerintah Kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut. Mereka masih berusaha merebut kembali Indonesia yang sebelumnya merupakan daerah jajahannya dengan melancarkan serangan-serangan militer yang lebih dikenal dengan istilah Agresi Militer I dan II Belanda.

Pada awal revolusi inilah perjuangan Ferdinand semakin nyata dalam mempertahankan kemerdekaan negeri yang sangat dicintainya. Sebagai seorang Residen, beliau ketika itu benar-benar menghadapi suatu situasi yang sangat sulit. Beliau harus menyaksikan dan membiarkan putra-putra daerah keresidenannya, Tapanuli berperang bersabung nyawa melawan saudara sebangsanya sendiri dari Sumatera Timur. Ketika itu, daerah Sumatera Timur yang sebelumnya telah jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda, maju memerangi Tapanuli.

Kecintaan akan kemerdekaan negerinya ditambah pendirian yang teguh, tegas dan tak mudah digertak menjadi modal perjuangan Ferdinand Lumban Tobing. Dengan semangat perjuangan yang berkobar dan tak takut mati, maka pada Agresi Militer II Belanda, dengan tanpa ragu sedikitpun Ferdinand bersedia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. Dan sebagai pemimpin militer, ia pun harus turun di barisan depan, memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.

Perjuangan ternyata tidak sia-sia, berkat perjuangan seluruh bangsa Indonesia di pusat maupun di daerah, baik yang berjuang di bidang politik, diplomatik, pendidikan, angkat senjata maupun cara lainnya, akhirnya kedaulatan Republik Indonesia diakui oleh dunia internasional. Pasca pengakuan kedaulatan Republik Indonesia, dr. Ferdinand Lumban Tobing ditawari menjadi Gubernur Provinsi 
Sumatera Utara tapi ditolak oleh Ferdinand. Namun pada Kabinet Ali I (Juli 1953-Juli 1955) ia bersedia menjadi 
Menteri Penerangan dan
Menteri Kesehatan (ad interim). Kemudian, ia juga pernah menjadi 
Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah, dan terakhir menjabat Menteri Negara Urusan Transmigrasi.

Pada usia 63 tahun, tepatnya pada 7 Oktober 1962, beliau meninggal dunia di Jakarta. Sebagai 
pahlawan Kemerdekaan Nasional, beliau layaknya dimakamkan di Taman Makam 
pahlawan, tapi atas permintaan keluarga, jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya di Kolang, Sibolga.

Dr. Ferdinand Lumban Tobing dikagumi dan dikenang banyak orang karena perhatiannya yang sangat besar terhadap orang kecil, seperti para romusha di zaman pendudukan Jepang. Dalam membela dan berbuat baik kepada orang kecil tersebut, terlihat bahwa dr Ferdinand tanpa pamrih.

Mengingat jasa-jasa dr. Ferdinand Lumban Tobing dalam perjuangan kemerdekaan, maka atas nama negara, pemerintah menganugerahkan gelar kehormatan kepada beliau sebagai 
pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut disahkan dengan SK Presiden Republik Indonesia No.361 Tahun 1962, tanggal 17 Nopember 1962.